Stop, Munkarâtul-Walîmah!
Bagi sebaian orang, pernikahan merupakan momen kebahagian yang tak terlupakan. Sebuah momen untuk menyongsong ‘kehidupan’ baru dengan meninggalkan masa remaja dan menjalani bahtera cinta berupa rumah tangga.
Selamatan pernikahan (walîmatul-‘arusy) adalah hal yang mesti adannya dalam resepsi pernikahan. Di dalamnya terdapat pula acara silaturahim; berkumpulnya sanak family, bala tetangga, dan tentu para undangan.
Adapun sabda Nabi r yang menunjukkan terhadap anjuran digelarnya walimah ketika menikah adalah Hadis yang pernah beliau r sampaikan kepada sahabat Abdurrahman t, “Adakanlah walimah, meski dengan seekor kambing.” Inilah yang melatarbelakangi adanya tradisi selamatan atau walimah yang ada hingga saat ini.
Kaitan dari walîmatul-‘arusy yang tak luput dari hadirnya para undangan, agar tampak khidmah, Islam mengaturnya sedemikian apik, termasuk aturan dan adab yang berkenaan dengan orang yang diundang, antara lain: saat seseorang mendapatkan dua undangan walimah, yang kebetulan waktu pelaksanaannya bersamaan, maka yang harus dipenuhi adalah undangan yang datang lebih dulu. Namun, jika kedua undangan itu datangnya bersamaan, maka yang dipilih adalah undangan yang lebih dekat kefamiliannya, kemudian yang lebih dekat tempat tinggalnya. Apabila dalam hal yang telah disebut memiliki kesamaan, baik ditinjau dari segi kefamilian serta tempat tinggalnya, maka seyogyanyalah yang diundang harus melakukan pengundian mana yang lebih dulu harus dihadiri.
Selain itu, dalam pandangan hukum fikih, menghadiri walîmatul-‘arusy itu hukumnya wajib. Sedangkan untuk walimah yang lain seperti walîmatul-khitan, kelahiran, khatmul-qur’an, dls. maka hukumnya adalah sunah, seyampang cara dan isinya sesuai dan tidak melanggar aturan syariat, seperti:
Pertama, campur baur antara laki-laki dan perempuan. Dipungkiri atau tidak, saat ini tak sedikit shâhibul-hajat menempatkan tamu undangan laki-laki dan perempuan dalam satu tempat tanpa pemisah, sehingga mengesankan terjadinya campur baur (ikhthilath) antara laki-laki dan perempuan.
Kedua, dana yang dibuat walimah oleh shâhibul-hajat. Ketika yang diundang tahu jika harta shâhibul-hajat tercampur dengan perkara syubhat (tak jelas halal-haramnya), maka ia tidak wajib—bahkan makruh—menghadirinya. Namun bila jelas dari perkara haram, baik hasil mencuri, menipu atau korupsi, meskipun menghadirinya tidak untuk makan, maka hukumnya tetap haram.
Ketiga, terdapat perkara munkar yang lain, seperti terdapat tembok yang dihias dengan kain sutra, permadani atau alas hasil ghasab atau curian, ada pelawak ceroboh atau dusta yang membuat para hadirin tertawa terbahak-bahak, atau terdapat gambar binatang utuh seperti gambar kuda yang bersayap, gambar ikan berkepala manusia, dls. Semua itu menyerupai berhala. Kendati demikian, bila perkara munkar itu dapat hilang dengan hadirnya orang yang diundang, maka ia wajib menghadirinya. Tapi jika tidak, maka tak wajib—bahkan haram.
Hampir mayoritas ulama menyatakan bahwa, semua contoh maksiat dan kemunkaran yang telah disinggung di atas, adalah penyebab haramnya menghadiri walimatul-‘arusy. Jadi, sudah selayaknya, sebagai orang yang beriman mengamalkan terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah r. Wallâhu a’lam.